Penyuluhan Pertanian Lahan Kering (PPLK) D-IV
PPLK D-IV Politani Kupang Merupakan wujud nyata dari dunia pendidikan dalam mengembangkan Komunikasi, Kepemimpinan dan Manajemen Penyuluhan yang efektif
Selasa, 28 Oktober 2014
Minggu, 19 Oktober 2014
Ketenagaan Penyuluhan Pertanian
10
Ketenagaan
Penyuluhan
Pertanian
A. Penyuluh
Pada Bab terdahulu telah disimpulkan bahwa
kegiatan penyuluh-an pertanian dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah
atau suatu lembaga penyu-luhan agar petani selalu tahu, mau,
dan mampu mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas
dan pendapatan usahatani guna memperbaiki mutu hidup atau
kesejahteraan masya-rakat secara keseluruhan. Karena itu,
kegiatan penyuluhan akan membutuhkan tenaga-tenaga penyuluh yang andal agar dapat
melak-sanakan kegiatan penyuluhan pertanian yang direncanakan.
Istilah "penyuluh" itu sendiri, oleh
Kelsey and Hearne (1958) disebut pekerja-penyuluhan (extension workers). Sedang
Lippit (1958) dan Rogers
(1983) disebutnya sebagai “agen perubahan (change
agent), yaitu seseorang yang atas nama
pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi
proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat
penyuluhan untuk mengadopsi inovasi. Karena itu, seorang
penyuluh haruslah professional, dalam arti memiliki kualifikasi tertentu
baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan ketrampil-an menyuluh
tertentu.
B. Ragam Penyuluh
Berdasarkan status dan lembaga tempatnya berkerja,
penyuluh dibedakan dalam (UU No. 16 Tahun 2006):
(1)
Penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan
status jabatan fungsional sebagai penyuluh.
Penyuluh pertanian PNS mulai
dikenal sejak awal 1970 seiring dengan dikembangkannya konsep “catur sarana unit desa” dalam program
BIMAS.
Sedang jabatan fungsional
penyuluh, mulai dibicarakan sejak pelaksanaan proyek penyuluhan tanaman pangan
(National Food Crops Extension Project/NFCEP)
sejak tahun 1976.
(2)
Penyuluh Swasta,
yaitu penyuluh pertanian yang berstatus sebagai karyawan perusahaan swasta (produsen
pupuk, pestisida, perusahaan benih/benih/alat/mesin pertanian, dll)
Termasuk kategori penyuluh
swasta adalah, penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
(3)
Penyuluh swadaya,
yaitu petani atau warga masyarakat yang secara sukarela melakukan kegiatan
penyuluhan di lingkungannya.
Termasuk dalam kelompok ini
adalah, penyuluh yang diangkat dan atau memperoleh imbalan dari dan oleh
masyarakat di ling-kungannya.
C. Peran Penyuluh
Secara konvensional, peran penyuluh
hanya dibatasi pada kewa-jibannya untuk menyampaikan inovasi dan
mempengaruhi penerima manfaat penyuluhan melalui metoda dan
teknik-teknik tertentu sam-pai mereka (penerima manfaat penyuluhan) itu dengan
kesadaran dan kemampuannya sendiri mengadopsi inovasi yang disampaikan. Tetapi,
dalam perkembangannya, peran penyuluh tidak hanya terbatas pada
fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengam-bilan
keputusan yang dilakukan oleh penerima manfaat penyuluhan-annya, tetapi
ia harus mampu menjadi jembatan penghubung antara
pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan
masyarakatnya, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijak-an-kebijakan
yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyara-kat sasaran,
maupun untuk menyampaikan umpan-balik atau tang-gapan masyarakat
kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang ber
sangkutan. Sebab, hanya dengan menempatkan diri
pada kedudukan atau posisi seperti itulah ia akan mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam arti, mampu
"mengamankan" kebijakan peme-rintah atau keinginan
lembaga penyuluhan yang bertujuan
mem-bantu masyarakat memperbaiki mutu hidup dan kesejahteraan-ya,
di lain pihak ia akan memperoleh kepercayaan
sebagai "agen pembaharuan" yang dapat diterima dan
dipercaya oleh masyarakat penerima manfaatnya.
Sehubungan dengan peran yang menjadi
kewajiban dan tanggung-jawab setiap penyuluh seperti itu, Kurt
Levin (1943) mengenal-kan adanya 3 (tiga) macam peran penyuluh yang
terdiri atas kegiatan-kegiatan:
1)
pencairan diri dengan masyarakat sasaran,
2)
menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.
3)
pemantaban hubungan dengan masyarakat sasaran.
Ketiga macam peran
tersebut, oleh Lippit (1958) dikembangkan menjadi beberapa peran lain yang
lebih rinci, yaitu:
1)
Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubah-an
Dalam tahapan ini, setiap penyuluh harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
mencakup:
a)
diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang
benar-benar diperlukan (real need) masyarakat sasaran
b)
pemilihan obyek perubahan yang tepat, dengan
kegiatan awal yang benar-benar diyakini pasti
berhasil dan memi-liki arti yang sangat strategis bagi
berlangsungnya perubah-an-perubahan lanjutan di masa-masa berikutnya.
c)
analisis tentang motivasi dan kemampuan
masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan,
sehingga upaya peru-bahan yang direncanakan mudah diterima
dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya (danaa, pengetahu-an/ketrampilan,
dan kelembagaan) yang telah dimiliki masyarakat penerima manfaatnya
d)
analisis sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh
penyuluh untuk perubahan seperti yang direncanakan.
e)
pemilihan peran bantuan yang paling tepat
yang akan dilakukan oleh penyuluh, baik berupa bantuan keahlian,
dorongan/dukungan untuk melakukan perubahan, pemben-tukan perubahan,
pembentukan kelembagaan, atau memper-kuat kerjasama masyarakat
atau menciptakan suasana ter-tentu bagi terciptanya perubahan.
2)
Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan
Dalam
tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh penyu-luh
adalah:
a)
menjalin hubungan yang akrab dengan masyarakat
sasaran
b)
menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya
perubahan-perubahan yang harus dilakukan, dengan menunjukkan
masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang belum dirasakan
oleh masyarakat sasarannya,
c)
bersama-sama masyarakat, menentukan prioritas kegiatan memobilisasi sumberdaya (mengumpulkan dana,
menyeleng-garakan pelatihan, membentuk
dan mengembangkan kelem-bagaan), dan mempimpin (mengambil inisiatif, mengarahkan, dan membimbing)
perubahan yang direncanakan.
3) Memantabkan hubungan dengan masyarakat sasaran,
melalui upaya-upaya:
a)
terus menerus menjalin kerjasama dan
hubungan baik dengan masyarakat sasaran, terutama
tokoh-tokohnya (baik tokoh formal maupun tokoh informal),
b)
bersama-sama tokoh-tokoh masyarakat memantabkan upaya-upaya
perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu dilaksanakan untuk
jangka panjang, dan
c)
terus-menerus
memberikan sumbangan terhadap perubahan yang profesional
melalui kegiatan penelitian dan rumusan
konseptual.
Berkaitan dengan peran
penyuluh, Mosher (1968) mengungkapkan bahwa setiap penyuluh (pertanian)
harus mampu melaksanakan peran ganda sebagai:
1)
Guru, yang
berperan untuk mengubah perilaku (sikap, penge-tahuan,
dan ketrampilan) masyarakat penerima manfaatnya.
2)
Penganalisa, yang selalu
melakukan pengamatan terhadap keadaan (sumberdaya alam, perilaku masyarakat,
kemampuan dana, dan kelembagaan yang ada) dan masalah-masalah serta
kebutuhan-kebutuhan masyarakat sasaran, dan melakukan
ana-lisis tentang alternatif pemecahan masalah/pemenuhan kebutuh-an-kebutuhan
tersebut.
3)
Penasehat, untuk memilih alternatif
perubahan yang paling tepat, yang secara teknis dapat
dilaksanakan, secara ekono-mi menguntungkan, dan dapat
diterima oleh nilai-nilai sosial budaya setempat.
4)
Organisator, yang harus
mampu menjalin hubungan baik dengan segenap lapisan masyarakat
(terutama tokoh-tokohnya), mampu menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan
partisipasi masyarakat, mampu berinisyatif bagi terciptanya
peru-bahan-perubahan serta dapat memobilisasi sumberdaya, meng-arahkan
dan membina kegiatan-kegiatan maupun mengembang-kan
kelembagaan-kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan perubahan-perubahan
yang direncanakan.
D. Kualifikasi
Penyuluh
Selaras dengan peran yang
harus dimainkan oleh setiap penyuluh seperti telah dipaparkan di atas,
Berlo (1960) mengemukakan 4 (empat) kualifikasi yang harus dimiliki
setiap penyuluh yang mencakup:
1)
Kemampuan
berkomunikasi, hal ini tidak hanya terbatas pada kemampuan: memilih
inovasi, memilih dan menggunakan saluran komunikasi yang efektif,
memilih dan menerapkan metoda penyuluhan yang efektif dan efisien,
memilih dan menggunakan alat bantu dan alat peraga yang efektif
dan murah; tetapi yang lebih penting adalah kemampuan
dan ketrampilan penyuluh untuk beremphati dan
berinteraksi dengan masyarakat sasarannya.
2)
Sikap penyuluh yang:
a) menghayati
dan bangga terhadap profesinya, serta
merasa-kan bahwa kehadirannya untuk melaksanakan tugas penyu-luhan
itu memang sangat dibutuhkan masyarakat penerima
manfaatnya.
b) meyakini bahwa inovasi yang disampaikan
itu telah ter-uji kemanfaatannya. Memiliki peluang
keberhasilan untuk diterapkan pada kondisi alam wilayah
kerjanya, memberikan keuntungan dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, serta meyakini
bahwa inovasi yang akan disampaikan itu benar-benar merupakan
kebutuhan nyata (meskipun seringkali belum dapat dirasakan)
masyarakat sasarannya.
c) menyukai dan mencintai masyarakat
sasarannya, dalam artian selalu siap memberikan bantuan dan atau
melaksanakan kegiatan-kegiatan demi berlangsungnya perubahan-perubahan
usahatani maupun perubahan kehidupan masyarakat penerima manfaatnya.
3)
Kemampuan pengetahuan penyuluh tentang:
a)
isi, fungsi,
manfaat, dan nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi yang disampaikan,
baik secara konseptual (keilmiah-an) maupun secara praktis.
b)
latar belakang
dan keadaan masyarakat sasarannya, baik yang menyangkut perilaku,
nilai-nilai sosial budaya, kea-daan alam, maupun
kebutuhan-kebutuhan nyata yang diper-lukan masyarakat sasarannya.
c)
segala sesuatu yang seringkali menyebabkan warga
masyara-kat suka atau tidak menghendaki terjadinya
perubahan mau-pun segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat
sering-kali cepat/lamban mengadopsi inovasi.
4) Karakteristik sosial-budaya Penyuluh
Di
dalam kenyataannya, kualifikasi penyuluh tidak cukup hanya dengan memenuhi persyaratan ketrampilan, sikap
dan pengetahuan saja, tetapi keadaan latar-belakang sosial-budaya
(bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan) seringkali justru
lebih banyak menentukan keberhasilan penyuluhan yang dilaksanakan.
Karena itu, penyuluh yang baik, sejauh mungkin
harus memiliki latar belakang sosial budaya yang sesuai
dengan keadaan sosial budaya masyarakat penerima manfaatnya.
Setidak-tidaknya, jika seorang penyuluh akan bertugas di
wilayah kerja yang memiliki kesenjangan sosial budaya yang telah
dimilikinya, ia harus selalu berusaha untuk menyiapkan
diri dan berusaha terus menerus mempelajari dan
menghayati nilainilai sosial budaya masyarakat penrima manfaatnya itu.
E. Persiapan Bagi
Penyuluh
Berkenaan dengan beberapa kualifikasi
penyuluh yangdituntut oleh kegiatan penyuluhan sebagaimana telah
dikemukakan di atas, setiap penyuluh perlu mempersiapkan
dirinya dengan berbagai persiapan sehingga akan melaksanakan
tugas dan kewajibannya dengan baik dan mencapai tujuan. Persiapan
penyuluh itu meliputi:
(1) Persiapan
kepribadian
Lippit (1958) secara tegas menyatakan bahwa,
keberhasilan seorang penyuluh sangat ditentukan oleh
kepribadian yang tercermin pada penampilannya pada saat pertama kali
ia berhadapan dengan masyarakat sasarannya atau yang disebutnya sebagai
"the first impression" yang
harus dapat diperagakannya sebelum ia berbuat sesuatu bagi masyarakatnya.
Adapun kepribadian
yang dituntut atau harus mampu ditunjukkan oleh seorang
penyuluh itu adalah:
a.
Penampilan (cara berpakaian, sikapnya jika
berbicara, ting-kah laku atau tindak tanduk) yang
menarik dan tidak menun-jukkan keangkuhannya.
b)
Kesediaan untuk bergaul, menjalin
kerjasama, dan keinginan-nya untuk tinggal bersama masyarakat
sasarannya,
c)
Mudah bergaul dan menyesuaikan diri
dengan keadaan ling-kungannya, baik lingkungan fisik, lingkungan
pekerjaan, maupun lingkungan sosial
setempat.
d)
Meyakinkan masyarakat sasarannya sebagai
orang yang memi-liki kemampuan untuk melaksanakan tugas,
cerdas, trampil, dan bersikap wajar.
e)
Kesiapan dan kesediaannya untuk membantu
masyarakat pene-rima manfaatnya dalam menganalisis dan memecahkan
masalah yang dihadapi.
Berkaitan dengan
persiapan kepribadian ini, Hawkins, et al (1982) menekankan agar
setiap penyuluh harus mampu berpenampil-an dan
berperilaku (utamanya pada kesempatan pertama) sebagai
seorang penyuluh yang memiliki kualifikasi:
a)
Jujur dalam artian
mau menunjukkan keunggulan dan kele-mahan setiap inovasi yang ditawarkan.
Sehubungan dengan hal ini, setiap
penyuluh tidak boleh hanya mengacu kepada keberhasilan
program atau manfaat yang dimainkan oleh peme-rintah/lembaga
penyuluhan atau bagi dirinya sendiri, tetapi harus
selalu berbuat sesuatu demi tercapainya manfaat bagi masyarakat penerima
manfaatnya, meskipun untuk itu ia harus bersedia mengorbankan waktu dan
tenaga bahkan seringkali juga harus mengorbankan beaya dan perasaannya.
b)
Dinamis, baik dalam arti
cepat mengantisipasi setiap masa-lah yang ditemui atau
dirasakan masyarakatnya, kreatif, dan selalu berupaya menumbuhkan
dan menggerakkan partisipasi masyarakat.
Penyuluh
yang baik tidak boleh hanya menunggu, tetapi secara
aktif dia harus selalu memburu informasi dan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakatnya.
c)
Kompeten, artinya
harus memahami dan menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yangdisampaikannya
(baik yang bersifat teknis, ekonomi, maupun kaitannya dengan
nilai-nilai sosial budaya).
d)
Penyuluh yang baik tidak cukup hanya menguasai
teori atau konsep-konsep yang berkaitan dengan inovasi atau
kebijakan yang disampaikan, tetapi harus pula memberikan contoh penerapannya secara praktis.
e)
Berwatak sosial, baik dalam pengertian
mau bersahabat atau menjalin hubungan dengan masyarakatnya,
maupun dalam arti memiliki kepekaan dan kesetiakawanan sosial yang
sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari maupun yang
secara langsung ataupun tak langsung berkaitan
dengan pelaksanaan dan kelancaran tugasnya sebagai penyuluh.
(2) Persiapan kajian lapang
Sebelum
melaksanakan tugasnya, setiap penyuluh harus terle-bih dahulu
telah melakukan kajian lapang, baik yang menge-nai
wilayah kerjanya, maupun kajian lapang tentang
wilayah-wilayah yang memiliki kesamaan karakteristik dengan wilayah kerjanya
itu. Kajian lapang yang dimaksud di
sini adalah, upaya pengenalan karakteristik wilayah kerja
(baik yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis maupun
sosial ekonomi), dan inventarisasi hasil-hasil penelitian atau
kajian-kajian yang telah pernah dilakukan di wilayah tersebut atau
diwilayah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan wilayah
kerjanya.
Upaya kajian lapang tersebut, dapat dilakukan
dengan mempela-jari data-data sekunder yang tersedia
atau dapat dikumpulkan dari lembaga-lembaga dan pihak-pihak
yang berkompenten, atau dilaku-kan melalui pengumpulan data
primer (pengamatan atau wawancara dengan tokoh-tokoh
masayarakat setempat).
(3) Persiapan untuk
belajar
Selaras dengan perkembangan dengan
kemajuan ilmu pengetahu-an dan teknologi yang menghasilkan
inovasi-inovasi yang akan disebarluaskan kepada masyarakat sasarannya,
maka setiap penyu-luh harus
mempersiapkan diri untuk selalu mau belajar secara terus
menerus dan berkelanjutan. Persiapan seperti ini, harus dimiliki dan dihayati
oleh setiap penyuluh. Tanpa
kesediaan untuk belajar secara berkelanjutan, mustahil dia dapat mengajarkan,
menganalisis, dan sekaligus memberikan nasehat tentang penerapan inovasi
yang disampaikannya. Oleh sebab itu, seorang penyuluh harus rajin:
a)
berkomunikasi dengan lembaga penelitian dan
sumber-sumber inovasi yang lain (perguruan tinggi dan pusat-pusat
informasi pertanian),
b)
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dari berbagai publikasi dan media masa, dan
pameran-pameran,
c)
mengikuti simposium, seminar,
lokakarya, pertemuan teknis, dan berbagai pertemuan ilmiah,
d)
mengikuti pelatihan dan penataran,
e)
melakukan karya wisata, widya wisata, maupun anjangsana
kepada petani maju (perintis, pelopor) yang telah berhasil.
(4) Persiapan perlengkapan menyuluh
Untuk meningkatkan
efektivitas kegiatan penyuluhan, sering-kali seorang
penyuluh harus mampu menyediakan dan mengguna-kan
beragam perlengkapan menyuluh, baik yang berupa alat-alat bantu menyuluh
maupun alat-alat peraga penyuluhan.
Tentang hal ini,
seringkali penyuluh menghadapi kendala beaya dan waktu untuk menyediakan
perlengkapan menyuluhnya sendiri. Karena itu, setiap penyuluh
harus sejak dini telah belajar membuat alat-alat bantu dan
alat-alat peraga penyuluhannya sendiri. Di samping itu, ia harus secara
jeli mampu memilih perlengkapan menyuluh yang mudah di dapat dan
relatif murah harganya.
Perlu diketahui
bahwa, tidak semua perlengkapan yang canggih dan mahal merupakan perlengkapan
penyuluhan yang efektif (baik karena pertimbangan teknis,
karakteristik masyarakat sasaran, dan sifat inovasinya sendiri).
F. Kunci
Keberhasilan Penyuluh
Di dalam praktek, untuk
memenuhi kualifikasi penyuluh yang handal dan mempersiapkannya dengan
beragam persiapan yang telah dise-butkan tadi ternyata tidak selalu
mudah.
Sehubungan dengan
itu, Rogers (1983) mengemukakan ada-nya empat hal yang
sangat menentukan keberhasilan seorang penyuluh, yaitu:
1)
Kemauan dan
kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara langsung maupun
tak langsung (melalui tokoh-tokoh masyarakat, pemuka pendapat, lembaga
swadaya masyarakat) dengan masyarakat sasarannya.
Tentang hal ini, seringkali
seorang penyuluh justru harus lebih banyak melakukan kontak tak langsung
melalui tokoh-tokoh masyarakat yang sangat berperan dalam menciptakan
opini-publik yang dapat memperlancar atau sebaliknya
menghambat tercapainya tujuan penyuluhan pertanian.
2)
Kemauan dan
kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara antara
sumber-sumber inovasi (lembaga penelitian/keilmuan, petani
maju, dan pedagang/konsumen) dengan pemerinah/lembaga penyuluhan dan masyarakat
petani sasarannya.
3)
Kemauan dan kemampuan untuk menjadi
perantara disini, dalam artian:
a)
seberapa jauh penyuluh mampu
meyakinkan pemerintah/lembaga penyuluhan bahwa inovasi
yang ditawarkan memiliki arti strategis bagi kepentingan
masyarakat (peningkatan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan)
maupun bagi pemerintah (demi stabilitas politik, keamanan, dan ketahanan
nasional).
b)
seberapa jauh penyuluh mampu
menerjemahkan inovasi menjadi kebutuhan yang dapat
dirasakan (felt need) oleh masyarakat sasarannya.
c)
seberapa jauh penyuluh mampu bekerja dengan
menggunakan pola berpikir pemerintah/lembaga penyuluhan
dan pola pikir masyarakat, dan tidak terkungkung
untuk beker-ja menurut pola pikirnya atau acuannya sendiri.
4)
Kemauaan dan kemampuan penyuluh
untuk menyesuaikaan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dengan kebutuhan-kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah/lembaga
penyuluhan dan masyarakat sasarannya.
Erat kaitannya
dengan hal kedua (2) di atas, kegiatan penyu-luh seringkali
masih berupa kebutuhan nyata (real
need) yang belum
tentu telah merupakan
kebutuhan yang dapat dirasakan (felt
need) baik oleh pemerintah/lembaga penyuluhan maupun oleh masyarakat
sasarannya. Dalam kasus seperti ini, upaya yang harus dilaku-kan
oleh penyuluh pertama-tama adalah seberapa jauh ia mam-pu
menerjemahkan kebutuhan nyata yang dilihatnya itu menjadi
kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah/lembaga penyuluh-an dan
masyarakat sasarannya (mengubah "real need" menjadi
"felt need"). Sebab, sebelum kebutuhan nyata itu menjadi
kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat (sasarannya),
sangatlah sulit bagi penyu-luh untuk mengharapkan keberasilan
penyuluhan yang diupayakan-nya itu.
Lebih lanjut, Rogers (1995) mengemukakan
4 (empat) hal lain yang menjadi kunci keberhasilan penyuluh, yaitu:
a.
Change-agent efforts atau kerja-keras yang dilakukan oleh penyuluh
b.
Client Orientation, atau selalu mengacu kepada (keadaan, masalah, dan kebutuhan) penerima
manfaat
c.
Compatibility with client’s needs, atau harus menyesuaikan kegiatannya dengan kebutuhan
penerima manfaat
d.
Emphaty
atau bertenggang-rasa, yaitu kemampuan
mema-hami, merasakan, dan menempatkan diri sebagai penerima manfaatnya
G. Penyuluh Profesional
Leagans (1961) mengemukakan beberapa persyaratan
bagi "penyuluh
profesional" yang harusl memiliki pemahaman yang baik tentang beberapa hal sebagi berikut:
(1) Pengertian akan sifat dan peranan organisai pelayanan
penyu-luhan di tingkat nasional, yang meliputi:
a)
Lingkup cakupan, filosofi, dan tujuan pembangunan
masyarakat.
b)
Pemahaman tentang hal ini, akan
menghindarkan langkah-langkah kegiatan yang bertentangan
dengan filosofi, akan menunjukkan sasaran/pihak-pihak yang akan
dilibatkan, serta memusatkan perhatiannya kepada tercapainya
tujuan yang diinginkan.
c)
Organisasi dan administrasi penyuluhan dari tingkat
pusat sampai ke tingkat wilayah kerjanya yang
terkecil, yang memberinya acuan tentang jenjang
birokrasi yang harus dipahami untuk memperoleh informasi dan
menyampaikan umpan-balik dari bawah.
d)
Tanggungjawab dan kesempatan-kesempatan yang dimiliki
dalam pembangunan nasional, yang memberikan acuan tentang
apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan,
dan semua potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkannya.
(2) Pengertian dan pengetahuan tentang teknologi
yang berkaitan dengan materi yang diprogramkan, yang mencakup:
a)
kelengkapan pengetahuan, atau segala sesuatu
yang perlu dike-tahui tentang teknologi yang diprogramkan.
b)
kesesuaiannya dengan teknologi yang
sudah dilaksanakan (baik secara teknis, ekonomi,
dan kesesuaiannya dengan sosial budaya lokal).
c)
pengetahuan tentan sumber teknologi yang diprogramkan,
agar dapat memperoleh informasi lanjutan, serta dapat menyampaikan umpan-balik
jika terjadi masalah di lapangan.
d)
pengertian tentang bagaimana kaitan teknologi dengan
masalah-masalah lokal (keadaan alam, tersedianya
sumberdaya, dll).
e)
kegiatan belajar yang terus menerus, tentang teknologi
yang akan diprogramkan.
(3) Kemampuan untuk menjelaskan tujuan program, sehingga bermanfaat sehingga
bermanfaat bagi kegiatan pembimbingan dalam pelaksanaan kegiatan
Dalam kaitan ini perlu
dipahami betul hal-hal yang menyangkut:
a)
kegunaan tujuan-tujuan tersebut,
b)
cara-cara mencapai tujuan,
c)
inter-relasi antar tujuan-tujuan yang ingin dicapai,
d)
ketrampilan yang menyampaikan tujuan-tujuan
tersebut yang kesemuanya akan sangat berpengaruh bagi efektivitas bimbingan
dan pelaksanaan kegiatannya, sehingga tujuan program dapat
dicapai seperti yang diharapkan.
(4) Kemampuan untuk mengorganisasikan masyarakat
dan sumberdaya yang tersedia utamanya yang berkaitan
dengan:
a)
sifat dan fungsi organisasi,
b)
prinsip-prinsip organisasi,
c)
teknik-teknik berorganisasi, dan
d)
koordinasi dan integrasi kegiatan demi tercapainya
tujuan program.
Dalam hal ini harus
disadari oleh setiap penyuluh, bahwa alah satu fungsi penyuluh bukan
sekadar mendidik, tetapi juga kemampu-annya untuk mengorganisasikan
masyarakat serta memanfaatkan semua potensi sumberdaya yang tersedia
bagi keberhasilan pelak-sanaan kegiatannya.
Sehingga kemampuan
mengorganisasikan masyarakat dan sumberdaya akan
sangat menentukan keberhasilannya sebagai seorang
penyuluh yang andal.
(5) Ketrampilan untuk melihat hubungan
antara prinsip-prinsip kegiatan dengan kenyataan yang dihadapi
dalam praktek, uta-manya yang berkaitan dengan:
a)
sifat dan peranan prinsip-prinsip tersebut bagi
pembangunan masyarakat.
b)
penerapan prinsip-prinsip untuk penyelenggaraan program.
c)
saling ketergantungan yang tak dapat
dipisahkan antara prinsip yang harus diterapkan dengan kenyataan
yang dihadapi dalam proses pendidikan penyuluhan demi
tercapainya tujuan program.
Tentang hal
ini, setiap penyuluh harus memahami bahwa tidak semua
prinsip-prinsip yang ada dapat dengan mudah diterapkan pada kondisi
masyarakat yang beragam. Oleh sebab itu, setiap penyuluh
harus mampu memilih teknik-teknik penerapan prinsip tersebut secara
tepat tanpa menimbulkan ketegangan dalam masyarakat sasarannya.
(6) Ketrampilan meneliti, yakni ketrampilan untuk
membantuk setiap pihak yang terlibat/dilibatkan dalam perumusan program untuk:
a)
mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi,
b)
menentukan titik-titik pusat kegiatan (impact point),
c)
merinci alternatif pemecahan masalah, dan
d)
memilih alternatif pemecahan yang paling tepat dan
mengambil keputusan tentang hal tersebut.
e)
Harus juga dipahami, bahwa sepanjang pelaksanaan
tugasnya, penyuluh dituntut untuk selalu melakukan pengamatan
dan evaluasi terhadap setiap gejala dan kejadian yang muncul
di wilayah kerjanya. Karena itu, dalam perumusan
program, ia harus benar-benar mampu malaksanakan peran-bantuannya
secara baik, berdasarkan fakta yang terjadi.
(7) Ketrampilan tentang hubungan kemanusiaan, yang sangat penting artinya
demi kelancaran pelaksanaan kegiatan, khusus-nya dalam mnejalin kerjasama
dengan pemimpin-pemimpin lokal, mengarahkan pelaksanaan kegiatan, dan
terjaganya keman-tapan dan kelancaran organisasi penyuluhannya.
Harus selalu
diingat bahwa penerima manfaat penyuluhan yang utama adalah manusia yang
ingin diubah perilakunya agar tau, mau, dan mampu menerapkan setiap
inovasi yang terpilih untuk memperbaiki mutu kehidupan
masyarakat sasarannya. Karena itu, tugas atau kegiatan
penyuluh tidak pernah terlepas dari hubungan antar manusia.
Dalam praktek, setiap
penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya tidak selalu berhubungan secara
langsung dengan setiap individu di wilayah kerjanya, tetapi
seringkali lebih baik memanfaatkan pemimpin-pemimpin lokal, dan
menggerakkan partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok kegiatan.
Di sinilah letak pentingnya kemampuan penyuluh untuk
mengembangkan hubungan antar manusia dengan pemimpin-pemimpin lokal
dan kelompok-kelompok kegiatan
H. Pengembangan
Profesionalisme Penyuluh
Sejak dikenalkannya
sistem kerja Latihan dan Kunjungan pada dasa-warsa 1970-an, sebenarnya telah
terlihat upaya-upaya pengembangan profesionalisme penyuluhan yang dilakukan
melalui:
1) penegasan tentang tugas
penyuluh pertanian yang difokuskan pada kegiatan penyuluhan dan tidak boleh
lagi dibebani tugas-tugas sampiran seperti merangkap jabatan struktural dan
atau terlibat dalam beragam kegiatan kepanitiaan yang tidak terkait dengan
fungsinya sebagai penyuluh pertanian.
2) kunjungan kepada
kelompok-tani secara pasti, teratur dan ber-kelanjutan
3) supervisi yang teratur dan
berkelanjutan
4) pelatihan bagi penyuluh
lapangan yang teratur dan berkelanjutan
5) kegiatan penataran dan studi lanjut
bagi semua penyuluh lapang-an dan penyuluh spesialis
6) peningkatan jalinan antara
penyuluh dengan perguruan-tinggi dan lembaga/pusat-pusat penelitian
7) koordinasi penyuluhan di
lapangan.
Sayangnya, di dalam perjalanan sejarah, sistem-kerja
LAKU tersebut tidak berlangsung seperti pada awal-awal kegiatan, terlebih
setelah terjadi perubahan administrasi penyuluhan sejak awal 1990-an, yang
diikuti dengan “lepasnya” administrasi penyuluhan di tingkat bawah (Kabupaten,
kecamatan, dan desa) dari keterkaitannya dengan tugas-tugas Dinas-dinas lingkup
Departemen Pertanian. Lemahnya penyu-luhan
pertanian seperti itu, diperparah lagi dengan semakin lebarnya kesenjangan
penyuluhan dengan sumber-sumber informasi/inovasi yang lain, terutama yang
dilakukan melalui media-masa dan kegiatan perguruan-tinggi. Sehingga yang terjadi, tidak sekadar
ketertinggalan penyuluh di bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga semakin
menurun-nya penghargaan masyarakat terhadap kinerja penyuluh dan
program-program penyuluhan pertanian.
Terhadap kondisi seperti itu, terdapat beberapa langkah pengembang-an
profesionalisme penyuluh dan penyuluhan
pertanian melalui:
1)
Pengembangan
profesionalisme tenaga penyuluh lapangan, dengan menggunakan (Longo dan
Dresbach, 2001):
a)
kumpulan laporan keberhasilan kegiataan
b)
tulisan-tulisan tentang keberhasilan kemitraan
c)
himpunan tantangan yang menyangkut keterkaitan antar:
penyuluh dan kelompok sasaran, antar
institusi dan antar wilayah
d)
daftar sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
e)
alat peraga (video teaching)
f) dll.
2) Program-program pelatihan khusus (Mero, 2001)
Program ini dikembangkan di Tanzania, kaitannya dengan pro-gram
ketahanan pangan, dalam bentuk: pelatihan, alih-teknologi, keragaman pangan,
pengendalian air, penyaluran kredit,
efisiensi penggunaan input, pengurangan kehilangan produk, pelibatan perempuan,
dll.
3) Pengembangan sistem pendampingan yang mengacu kepada
kelompok-sasaran (Lamaers, et al. 2001), melalui:
a)
perumusan visi dan misi kegiatan
b)
penjabaran visi dan misi
c)
pemilihan metoda pelatihan
d)
pengembangan kemampuan dan rasa percaya-diri
e)
“on the job
training” untuk melatih kemandirian
f)
persiapan
keberlanjutan kegiatan
4) Program-program khusus untuk
perempuan (Balakrishnan, 2001), untuk
menumbuh-kembangkan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan pertanian
5) Pelatihan untuk penyuluh spesialis (Radakhrisna, 2001) kaitan-nya dengan peran-peran yang dimainkan
dalam hal:
a)
menyampaikan
hasil-hasil kajian dan teknologi mutakhir.
b)
pengembangan
kepemimpinan untuk pembangunan
c)
pemahaman tentang
kelompok sasarannya
d)
mengintegrasikan
dan mensintesakan keahlian dan hasil-hasil penelitian dengan pelatihan untuk
penyuluh
e)
menumbuhkan
kesadaran di lingkungan perguruan tinggi tentang program-program penyuluhannya
f)
mengembangkan
bantuan-teknis untuk kegiatan penyuluhan
g)
mengidentifikasi
sumber-sumber pembiayaan untuk pening-katan dan keberlanjutan penyulouhan
h)
memberikan umpan
balik ke perguruan-tinggi
i)
mendorong
partisipasi semua stakeholder penyuluhan pertanian
j)
berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan kelompok profesi maupun disiplin keilmuannya.
Sehubungan dengan pengembangan profesionalisme
penyuluh, Swanson (1997) menekankan beberapa hal, yaitu:
1) Pelatihan tentang “teori
belajar” dan “pelatihan” untuk
merang-sang penyuluh agar mau mengembangkan semangat belajar dan memilih
beragam bentuk/jenis pelatihan yang dibutuhkan.
2) Pendekatan penyuluhan, yang mencakup:
a)
pendekatan tradisional, yang lebih menekankan peran
pelatuh untuk “menggurui” peserta
b)
pendekatan pengalaman, melalui simulai atau kegiatan
lapang agar peserta memiliki pengalaman yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan
sehari-hari
c)
pendekatan kinerja, terutama untuk pelatihan
ketram-pilan, yang memberikan penilaian berdasarkan kinerja yang ditun-jukkan.
3) Bentuk-bentuk pelatihan, yang meliputi:
a)
preservice training atau pembekalan
siap-kerja
b)
inservice training/staff development, yang dilakukan setelah bekerja untuk keperluan
promosi jabatan terdiri dari pelatihan
c)
dasar, penyegaran, on-the job training dan
pelatihan pengem-bangan karir.
4) Tahapan pelatihan, yang
mencakup:
a)
scopping program pelatihan
b)
analisis kebutuhan pelatihan
c)
pengembangan kurikulum
d)
penyusunan modul pelatihan
5) Pemilihan metoda pelatihan, yang berupa:
a)
ceramah (instructor
presentation)
b)
diskusi kelompok
c)
demonstrasi
d)
tugas bacaan
e)
latihan
f)
studi kasus
g)
bermain-peran
h)
kunjungan lapang/widya wisata
6) Pelaksanaan kegiatan;
a)
kepemimpinan
b)
pengorganisasian masyarakat
c)
negosiasi
d)
bekerja dalam Tim
e)
Teknik negosiasi
f)
manajemen perubahan
g)
resolusi konflik
_
7) Evaluasi kegiatan yang meliputi:
a)
evaluasi perencanaan
b)
evaluasi proses
c)
evaluasi akhir
d)
evaluasi dampak
H. Pengembangan
Kemitraan
Dalam Gambar 6 dikemukakan
adanya keterkaitan yang erat antara tiga pelaku utama kegiatan penyuluhan yang
terkait dalam kegiatan-kegiatan penelitian, penyuluhan, dan praktek usahatani
yang melibatkan: penyuluh, peneliti, petani, penasehat pertanian, penyuluh
spesialis, dan kontak-tani (Gambar 16).
Di samping itu, kegiatan
penyuluhan juga akan terkait dengan kegiatan-kegiatan stakeholders yang lain
yang bergerak di kegiatan on-farm, off-farm, maupun non-fsrm.
Sehubungan dengan
keterakaitan antar stakeholders penyuluhan ter-sebut, adanya kemitraan kerja yang erat yang
didasari oleh rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan, dan saling
memperkuat menjadi semakin penting
artinya, kaitannya dengan:
1) pengadaan (produksi) dan penyaluran/penyebarluasan materi penyuluhan
2) penyedia media penyaluran/penyebar-luasan informasi
3) pembiayaan penyuluhan
4) pendampingan, penasehat, dan konsultasi
5) perumusan kebijakan penyuluhan
|
Peneliti
Usahatani
Badan Penasehat Teknis
Gambar 20. Model
Keterkaitaan Kegiatan Penyuluhan Pertanian
Dengan Pihak/Lembaga
Terkait
Tentang hal ini, Mitchell, et al (2001) melaporkan salah satu
bentuk kemitraan penyuluhan yang
bertujuan untuk:
1) memfasilitasi pertukaran informasi
2) pemantauan dan evalauasi demonstrasi-demonstrasi
3) mengidentifikasi pelaksanaan kegiatan, masalah dan kendala yang
dijumpai serta laternatif pemecahan
masalah yang disaran-kan
4) mengembangkan pengujian dan
demonstrasi untuk meng-atasi masalah yang muncul
5) memfasilitasi kegiatan petani, terutama yang bersifat teknis
6) mengembangkan kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan
pengembangan masyarakat setempat
Berkaitan dengan upaya
pengembangan kemitraan kegiatan penyu-luhan pertanian tersebut, Swanson (1997)
mengingatkan pentingnya:
1) identifikasi institusi dan
pihak-pihak lain yang terkait dengan kegiatan penyuluhan
2) keterkaitan petani (miskin) dengan penyuluh dan peneliti
3) keterkaitan: peneliti, penyuluh, dan petani dalam pengelolaan
usahatani
4) penyederhanaan struktur keterkaitan antara peneliti dan penyuluh
penyederhanaan sistem usahatani yang menggambarkan keterkaitan petani dengan
Dewan Penasehat
Langganan:
Postingan (Atom)